SELAMAT DATANG BUAT SEMUA KAWAND,,SEMUA DATA ADA DI TAB DIATAS TULISAN INI...SALAM PERSAHABATAN...

Senin, 11 Mei 2009

Membangun Bahasa Sebagai: RUMAH YANG TEDUH

Oleh Naning Pranoto, MA*)

Rumah yang teduh, tentunya menjadi idaman setiap orang. Cynthia Ozick (sastrawati AS) dan Charles Maurice de Tallerand (pemikir dan politikus Prancis), mengibaratkan bahasa adalah rumah, khususnya rumah pengarang. Maka Ozick yang berdarah Yahudi kelahiran New York City – AS menekankan, seorang pengarang harus punya rumah. Rumahnya adalah bahasa, yaitu bahasa yang baik agar pembacanya merasa home.. Sedangkan Tallerand menggarisbawahi, bahasa adalah tempat untuk menyembunyikan pemikiran. Kata ‘menyembunyikan’ di sini diartikan positif, yaitu ‘meletakkan’ dengan aman butir-butir pemikiran yang disamapikannya. . Berkaitan dengan kedua pendapat tersebut, berikut ini kajian fungsi bahasa tidak hanya sebagai ‘rumah pengarang’, tetapi juga ‘rumah setiap orang’ dan dampak sosialisasinya.

Antara House dan Home

Dalam realita hidup sekarang ini, mencari rumah yang teduh bukanlah hal yang mudah. Kendalanya cukup banyak, antara lain faktor lingkungan (terbatasnya lahan dan langkanya pohon sebagai peneduh serta adanya pencemaran udara) dan faktor ekonomi (tanah yang berlingkungan teduh harganya mahal) serta menipisnya lapisan ozon yang membuat bumi ini makin panas dan panas. Sehingga rumah yang teduh tidak bisa dimiliki oleh setiap orang. Meskipun demikian, manusia tidak menyerah. Dengan berbagai upaya, mereka berusaha membangun rumah yang teduh. Karena, rumah yang teduh tidak hanya nyaman untuk dihuni, tetapi juga tidak membuat jiwa stress. Maka rumah yang teduh disebut juga sebagai home sweet home.

Dalam bahasa Inggris rumah disebut house. Tetapi, tidak semua house bisa disebut home walau keduanya sama berbentuk bangunan dan untuk dihuni manusia. Karena, house dalam bahasa Inggris diartikan ‘bangunan untuk tinggal manusia’ dan ‘home’ juga berarti ‘bangunan untuk tinggal manusia’ --- tetapi ada penekanan (stressing) ‘tinggal dengan nyaman, teduh’. Kajian ini melahirkan idiom: you are the home of my soul – engkau adalah rumah jiwaku . Kalimat ini biasanya diucapkan oleh mereka yang merasa menemukan ketentraman dan keteduhan hidup pada diri seseorang.

Anggapan itu timbul yang utama disebabkan oleh faktor: seseorang yang bisa/dianggap menjadi ‘home’ adalah yang berkepribadian hangat, ramah, bersikap lemah-lembut dan itu pertama-tama terungkap dari cara ia berbicara – yang tidak lain menggunakan bahasa. Bukan, karena ia punya harta yang berlimpah atau semacam hadiah-hadiah yang mahal untuk diberikan kepada seseorang. Harta yang melimpah-limpah dan hadiah yang mahal-mahal akan tidak ada artinya bila disampaikan dengan perilaku dan bahasa yang kasar. Sebaliknya, hanya sepotong roti dan segelas air putih akan terasa nikmat dan indah ketika disantap bila diberikan dengan perilaku manis disertai bahasa yang menyenangkan.

Membangun Rumah yang Teduh

Berdasarkan kajian ‘house’ dan ‘home’ yang telah dipaparkan, kiranya setiap orang perlu ‘membangun rumah yang teduh’ untuk kenyamanan hidup. Rumah yang dimaksud di sini adalah: berbahasa. Baik bagi pengarang maupun non-pengarang (awam). Dengan kata lain, berbahasa yang baik untuk keperluan penulisan (tertulis) maupun percakapan (lisan) sebagai sarana untuk menciptakan kenyaman, keteduhan dan kedamaian hidup..

Dalam realita hidup sekarang ini, untuk memperoleh pelayanan bahasa yang baik sama sulitnya untuk mendapatkan rumah yang teduh. Kendalanya cukup kompleks, antara lain adanya akulturasi (acculturation) yang lepas kontrol dan ini tidak hanya mencemari kebudayaan tetapi juga berpengaruh besar terhadap perubahan perilaku masyarakat. Apalagi sekarang ini kita berada di tengah hiruk-pikuknya globalisasi di mana dunia ini tanpa batas lagi. Proses akulturasi tidak hanya melalui hubungan sosial (pergaulan), tetapi juga melalui media-massa (cetak dan elektronik). Sebagai contoh, pengaruh acara-acara di TV tidak bisa diabaikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Selain faktor bahasa, juga berpengaruh kepada gaya hidup, perilaku dan selera makan.

Dalam tulisan ini, bahasa yang dibahas dan dikaitkan dengan pengaruh acara-acara yang ditayangkan oleh stasiun-stasiun TV sebagai contoh untuk kajian. Seperti kita ketahui versama, TV disebut sebagai kotak ajaib yang mampu memindahkan panggung dunia ke rumah kita. Ini diartikan, kalau kita nonton TV berarti memasuki panggung dunia, sehingga kita dapat menonton apa saja yang terjadi di dunia ini.

Berbagai tayangan acara yang disajikan stasiun TV apa pun bentuknya, bisa dimengerti oleh para penontonnya karena diantar atau disampaikan dengan bahasa. Baik bahasa lokal maupun bahasa asing. Sehingga, agar dimengerti penonton, acara-acara yang diproduksi dari luar negeri (menggunakan bahasa asing) kemudian diterjemahkan dengan melalui subtitle, sehingga penonton TV Indonesia bisa memahami acara-acara yang non-berbahasa Indonesia. Meskipun demikian, bahasa asli acara-acara tersebut banyak yang bisa diserap – khususnya yang berasal dari bahasa Inggris. Tentu saja serapan tersebut menumbuhkan bahasa Indonesia. Bila yang terserap itu baik tentu berdampak positif. Tetapi bagaimana jika yang terserap itu buruk - misalnya, kata-kata untuk memaki dan menghardik atau bicara jorok?

Akhir-akhir ini stasiun-stasiun TV di Indonesia cukup banyak menayangkan acara sinetron untuk remaja yang umumnya menggunakan bahasa seragam: bahasa Indonesia yang buruk karena tema cerita yang disajikan memang ‘buruk’ dalam arti bermuatan kejahatan (penuh intrik,penuh hardikan dan makian, kriminal dan pelecehan). Ini memang tidak bisa dihindari, karena hal-hal yang sifatnya ‘buruk’ memang sulit bila menggunakan (dungkapkan) dengan bahasa yang baik. Dampaknya, sinetron yang disajikan menjadi ‘bukan rumah yang teduh’ yang ada ‘rumah yang ricuh, penuh pertengkaran’. Hidup macam apakah ini? Inikah cerminan masyarakat Indonesia yang katanya dikenal (mengaku) ramah, santun dan penuh kasih sayang karena berbudaya dan beragama?

Tetapi apa kenyataannya? Sekarang ini baik di dalam layar TV maupun di luar layar TV dapat kita rasakan, begitu semakin berkurang orang-orang yang berbahasa baik Bila tidak kasar, mereka lebih senang menggunakan bahasa prokem. Begitu mudahnya orang-orang mengumpat (sering kita jumpai di jalan raya ketika mengemudi), begitu judesnya para pelayan publik (misalnya di rumah sakit, mal-mal, kantor-kantor, bahkan di sekolah) dan galaknya para orangtua terhadap anaknya atau sikap para suami-istri dalam berkomunikasi (kekerasan di dalam rumah) dan masih sedereat lagi kasus. Bila kasus-kasus ini dibiarkan terus berlanjut, maka ‘rumah yang teduh’ dalam pergaulan akan hilang. Dampaknya, membuat hidup kita tidak nyaman.

Memang sudah waktunya kita perlu membangun rumah teduh lewat bahasa, cara berbahasa yang menyertai perilaku. Para penulis berperan cukup besar untuk mengajak masyarakat kembali berbahasa yang baik, dengan cara menulis buku-buku dengan bahasa yang baik selain misi tulisannya bernilai untuk membangun moral pembacanya dalam menjalin komunikasi dan bersosialisasi. Para penulis cerita-cerita film/sinetron yang ditayangkan di TV, kiranya perlu merevisi atau kalau mungkin mengganti materi karyanya dengan tema-tema yang lebih ‘sejuk’ agar tidak memperparah kekacauan bahasa dan budaya serta gaya hidup masyarakat Para guru di sekolah jangan lupa mensosialisasikan bahasa yang komunikatif-hangat dan benar agar para anak didiknya tumbuh sebagai ‘manusia teduh’. Para orangtua walau sibuk berkarir atau menjalankan tugas-tugas lainnya, perlu menyediakan waktu khusus untuk mengajari putra-putrinya berbahasa yang bernuansa teduh, santun, sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang baik dan benar agar mereka kelak menjadi ‘rumah yang teduh’ bagi siapa saja. Hal ini dapat dimulai dengan penggunaan bahasa Ibu (bahasa daerah).

Yang perlu dikaji lagi, waktu anak-anak pada umumnya berlalu di depan pesawat TV rata-rata 4 (empat) jam per hari. Itu berarti, bahasa TV cukup kuat mempengaruhi cara mereka berkomunikasi selain ‘meniru’ gaya hidup acara TV yang ditontonnya. Maka tak heranlah, apabila bahasa TV merasuki bahasa mereka sehari-hari. Mau bukti? Datanglah ke sekolah-sekolah (SD) di Jakarta maupun di daerah, maka Anda akan mendengar bahasa yang dipergunakan komunikasi anak-anak SD itu sama, yaitu menggunakan bahasa TV, bahasa Indonesia yang disebut ‘bahasa gaul’ - sarat dengan kosa kata ‘tidak sejuk’. Bila hal ini dibiarkan, sangat mungkin, kelak anak-anak kita akan kehilangan ‘rumah yang teduh’ – yaitu bahasa yang baik, benar dan santun sebagai alat komunikasi.

*) Naning Pranoto, Penulis dan Dosen Bahasa-Sastra dan FSIP, Pengasuh www.rayakultura.net

Seja o primeiro a comentar

Posting Komentar

LOWONGAN KERJA

tinggalkan pesan disini

  ©Template by Dicas Blogger.

TOPO